Juta Ajrullah

Berbagi Demi Kebahagiaan Hakiki

Posts Tagged ‘Birokrasi’

Empat Pejabat Indonesia yang dianggap J.U.J.U.R

Posted by jutaajrullah on 12 June 2011

Pejabat-pejabat Indonesia yang dianggap paling “bersih”. Ini merupakan rahasia yang kurang terekspos masih ada segelintir pejabat yang hidup sederhana.

1. Prof Dr Emil Salim

Meski tiga kali menjadi menteri — Menteri Perhubungan, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) serta Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) — Emil justru tak terpikir untuk membeli rumah semasa memangku jabatan. Ia hidup di rumah dinas dengan fasilitas yang disediakan negara.

Sebelumnya, kemenakan H. Agus Salim ini, memang telah memiliki satu rumah di Jl. Tosari No. 75. Dibeli pada 1968, rumah itu dikontrakkan. Dari kontrakan tersebut, Emil mendapat hasil sampingan yang ditabungkannya. Tatkala menepi dari pusaran kekuasaan pada 1993, doktor ekonomi alumnus Universitas California ini, terpaksa keluar dari rumah dinas. Akibatnya, ia baru merasa pahitnya, tidak memiliki rumah. “Saya pun memikirkan untuk membeli rumah,” kisah pengurus ICMI ini.

Akhirnya, ia membeli rumah untuk bernaung bagi dirinya dan istrinya. “Kalau anak-anak barangkali mereka dibawa suami masing-masing,” ujarnya. Di saat awal pindah ke rumah baru, menurut seorang aktivis LSM yang dekat dengannya, Emil tidak memiliki peralatan rumah tangga yang banyak. “Dia sampai kesulitan untuk beli ranjang,” kisah aktivis itu.

Selain dari berbagai sumber pendapatan, Emil mengaku, kini ia dan keluarganya hidup dari rumah kontrakan. Kesederhanaan dan hidup lurus yang dikukuhi Emil Salim ini, membuat Zainul Bahar Noor SE memujinya. “Emil Salim itu sama bersih dengan pejabat bersih lainnya. Ia teknokrat yang tidak mementingkan uang,” puji Dirut Bank Muamalat Indonesia (BMI) ini.

2. Mar’ie Muhammad

Mar’ie Muhammad pun mengesankan pejabat sederhana dan disebut-sebut bersih. Kesederhanaan Menteri Keuangan ini, tecermin dari penampilannya sehari-hari: mengenakan safari ke kantor dan lebih senang dengan sarung cap Mangga dan Gajah Duduk, bila di rumah.

Bahkan, ia pun menekankan kesederhanaan pada keluarganya. Contohnya, menurut putri bungsunya Rahmasari, mantan Dirjen Pajak ini tidak membolehkan anak-anaknya menggunakan mobil ke kampus maupun ke sekolah. Ia pun memilih membawa keluarganya berumroh — seperti yang sedang dilakukannya sekarang — daripada hura-hura ke luar negeri.

Selain sederhana, ia dikenal tegas dan lurus. Contohnya, ia pernah disebut menolak anggaran taktis dan biaya perjalanan dinas, yang dinilainya terlampau besar. Di sisi lain, lelaki penggemar jogging ini berupaya meningkatkan efisiensi dan berusaha membendung kebocoran di instansi yang dipimpinnya. Tak mengherankan, ia dijuluki Mr. Clean.

3. Satrio Budihardjo Joedono

Semasa memangku jabatan menteri perdagangan, di ruang kerjanya tersusun guci keramik dan beberapa lukisan. Tapi, ia mengaku membeli secara kredit, terhadap benda kegemarannya. “Saya tak mampu membelinya,” ujarnya.

Kesederhanaan pun memayungi rumahnya. Saat masih tinggal di kompleks perumahan menteri, ruang tamunya tidak beraroma kemewahan. Di ruang tamu rumah bernomor 25 itu, hanya terlihat rangkaian bunga di meja tamu. Di garasi, ada tiga mobil. Cuma satu yang dimilikinya, mobil tua. Sedangkan dua lainnya mobil inventaris sebagai menteri dan pinjaman BPPT.

Kesederhanaannya sempat merisaukan. Ini lantaran Billy akrab dengan tas kerja yang warna cokelatnya telah memudar. Petugas pun menggantikannya dengan tas baru saat ia menghadap ke Istana. Ia menerima tas pemberian tersebut tetapi tetap membawa tas lusuhnya. Bahkan, ia tidak canggung mengempit tas lusuh ataupun risih dengan menteri perdagangan dari negara lain, saat pertemuan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik, November 1994 Lelaki yang karib dipanggil Billy ini pun dikenal tegas dan lurus. Ia tidak melayani dokumen yang tak memenuhi persyaratan lengkap. Billy pun dikenal cermat dalam mengunyah laporan bawahan. “Selamanya dua kali dua adalah empat, bukan delapan,” ini prinsip hidupnya.

4. Ir. Sarwono Kusumaatmadja

Menteri Negara Lingkungan Hidup ini dikenal sederhana dan lugas. Mengaku menekankan pola hidup sederhana hingga pada keluarganya, Sarwono merasa beruntung dengan kesederhanaan tersebut. “Kita tidak terjebak konsumtif sehingga terlepas dari keinginan melakukan hal-hal di luar kemampuan diri.

Korupsi merupakan bentuk upaya mencukupi kebutuhan di luar kemampuan keuangan keluarga.” Sarwono pun memiliki prinsip tak akan membeli barang yang kurang bermanfaat dan barang lelangan. “Ini pesan orangtua saya sebelum meninggal karena menurutnya pemilik barang lelangan itu menjual secara terpaksa. Kita jangan hidup di atas penderitaan orang lain.” Sarwono sendiri mengakui dirinya tidak bersih betul dari perilaku itu. Tapi jika dibanding dengan yang lain, dia merasa bersyukur berada dalam kondisi yang lebih baik. “Saya senang dibilang bersih, tapi menurut saya, saya cukup agak bersih-lah,” katanya.

Beragam cobaan dialami figur di atas dalam mengemban tugas. Mereka mengakui godaan tersebut hadir dalam bentuk yang vulgar hingga yang halus. Cobaan yang vulgar, misalkan, dalam bentuk katabelece. Demikian pula cobaan halus dalam bentuk kiriman parcel pada saat lebaran. Berbeda dengan jamaknya parcel, isi keranjang hadiah ini antara lain cek. Billy semasa memangku jabatan menteri perdagangan selalu menerima kiriman hadiah dalam bentuk cek bernilai besar.

Bagaimana kiat mereka menepiskan berondongan ‘godaan’ yang dikirim? Billy terlebih dulu menyaring parcel yang diterima. “Kalau parcelnya isinya biasa-biasa kami terima tetapi kalau sudah cek kami tolak,” kisah Ani Joedono, istri Billy. Kiriman cek tersebut memang tidak langsung dikembalikan kepada pengirim. Tapi, Billy dan istrinya, mengoleksinya dalam album. “Kata Bapak ini untuk kenang-kenangan,” kata Ani.

Demikian juga yang dialami Emil Salim. Semasa memangku jabatan, ia mengisahkan, awalnya orang memberi bunga. Lalu, kata Emil melukiskan, meningkat menjadi makanan, pena, jam tangan, dan kemudian dalam bentuk barang lain. “Yang penting enam bulan pertama. Setelah enam bulan pertama kau terima kedudukan itu, kau mesti beri signal-signal (tanda-tanda),” katanya.

Bagaimana ia menangkis pemberian tersebut? “Yang penting enam bulan pertama yang menentukan. Setelah enam bulan pertama kita terima kedudukan itu, kita mesti beri signal-signal,” ujarnya membeberkan pengalamannya. Dalam menerima pemberian tersebut, menurutnya, mesti ada garis tegas. “Katakan lebih dari ini, no!” Tapi, “kita tidak perlu berteriak mengatakannya tetapi dengan sopan.” Dengan demikian, orang akan mengerti berhadapan dengan siapa.

Setelah itu, menurutnya, barulah dijelaskan, “hei Bung, ini ada sumpah jabatan. Demi Allah saya bersumpah tidak akan menerima hadiah dengan dalih apa pun. Pokoknya sumpah itu berat sekali.” Tak sekadar menyadarkan mereka yang hendak ‘menyuap’, Emil pun mengungkapkan, sebagai kepala keluarga mesti menertibkan semua keluarga. Demikian juga agar menjadi contoh bagi keluarga. “Jadi harus kita jelaskan kepada semua keluarga,” ujarnya.

Meski demikian, Emil mengembalikan sikap sederhana dan jujur itu, kepada rasa keberagamaan seseorang. Ia merasa beruntung mendapatkan pendidikan agama sejak kecil dari kedua orangtua. Pendidikan itu pula kemudian yang diwariskan kepada anak-anaknya. “Jam kantor itu kan berada antara waktu Dzuhur dan Ashar.

Bagaimana mungkin kita salat, menghadap Tuhan Yang Maha Esa sementara di saku terdapat uang begituan?” Emil memberi ilustrasi. Di sisi lain, ia mengingatkan, hendaknya kita jangan sampai membuat respek anak hilang gara-gara tingkah kita. “Kasihan, gara-gara tindakan kita, mereka di sekolah menjadi bahan gunjingan teman-temannya yang lain.” Emil, Sarwono, Ma’rie, maupun Billy, merupakan segelintir figur yang disebut-sebut sederhana dan bersih. Meski demikian, tentu masih ada deretan petinggi lainnya yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan

Bahkan, sempat terbetik harapan masyarakat, tak hanya pada petinggi yang bertype sederhana, juga bagi mereka yang telah lebih dulu kaya sebelum memangku jabatan. Sekadar menyebut contoh, pengusaha A. Latief yang memangku jabatan menteri tenaga kerja. Dengan terlebih dulu kaya, demikian harapan umum masyarakat, mereka justru lebih berdedikasi terhadap pekerjaannya.

Betul, kesederhanaan tidak menjamin sepenuhnya kejujuran dan dedikasi petinggi. Emil Salim pun mengakuinya. “Tidak usahlah kita mau jadi kere. Normal saja. Setiap orang tentu ingin punya mobil, tapi caranya yang normal. Cara memperoleh kekayaan itu jangan sampai harga dirimu hilang,” begitu sarannya.

Source: http://kabargelap.blogspot.com/2011/05/4-pejabat-yang-dianggap-paling-bersih.html

Posted in Administrasi Publik, Motivasi dan Inspirasi | Tagged: , , , , , | 2 Comments »

Hubungan Pelayanan Publik dengan Prinsip 3E

Posted by jutaajrullah on 28 August 2010

Menyambung Postingan sebelumnya tentang Prinsip 3E dalam Pelayanan Publik, berikut ini adalah sedikit ulasan tentang hubungan antara pelayanan publik dengan pentingnya prinsip 3E di dalamnya.

Pelayanan publik harus mampu mengupayakan ketersediaan akses informasi, dapat menjelaskan sumber, alokasi, dan alasan rasional tentang program yang dijalankan kepada semua elemen publik. Artinya, mekanisme kontrol, akuntabilitas dan partisipasi publik harus berjalan. Target nyata dari prinsip efisiensi, efektivitas dan ekonomis harus berjalan.

Pendek kata, konsentrasi penyelenggaraan pelayanan publik harus dicurahkan pada bagaimana birokrasi pemerintah dapat berbuat lebih banyak dan lebih baik dengan keterbatasan sumber daya, seperti apa yang disebutkan oleh Helbert A. Simon maupun Dwight Waldo “dengan perlunya realisasi maksimum dari tujuan yang memberikan ‘special public quality’ pada fungsi pemerintah”. Dengan demikian, bukanlah efektivitas-efisiensi melawan optimalisasi pelayanan publik yang semestinya dikedepankan, akan tetapi efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintah untuk mengoptimalkan pelayanan publik yang harus dikedepankan.

Pada dasarnya tujuan dari prinsip efektivitas dan efisiensi pelayanan publik adalah untuk :

  1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang diberikan oleh pemerintah sebagai ‘publik service agent’.
  2. Menjamin nilai ekonomisnya manajemen publik (pengelolaan organisasi pemerintah)
  3. Transparansi penyelenggaraan fungsi pelayanan publik.

Pengelolaan pelayanan publik jelas harus mengedepankan efisiensi, efektivitas dan ekonomis disamping implementasi kebijakannya (programnya) yang juga harus efektif (tepat sasaran). Pelayanan publik haruslah dapat memandang diri mereka  sebagai ‘transformation agent’, selalu bersikap proaktif dan tidak semata-mata reaktif serta mereka harus mampu memposisikan diri sebagai ‘the obligated civil servicer’ (bhakti rakyat) sesuatu yang ‘conditio sine quanon’ (wajib melayani), artinya memberikan pelayanan kepada publik secara jujur dan santun.

Sungguh sulit dibayangkan apabila ingin mendapat sesuatu yang dikehendaki hanya berpegang pada salah satu prinsip saja, apakah itu efisien,  efektif, ataupun ekonomis. Karena prinsip manapun yang akan menjadi pilihan tidak dapat memberikan kepuasan. Sebab jikalau memilih atau menekankan pada efisien, akan muncul anggapan bahwa seakan-akan atau seolah-olah telah dengan sendirinya apa yang hendak dicapai pasti diperoleh sebagaimana yang diharapkan, sepanjang telah dipenuhinya segenap prosedur dan tata kerja yang seharusnya ditempuh tanpa harus memikirkan apakah hasil yang telah dicapai tersebut yang seharusnya didapat atau diwujudkan, atau sudah mengena pada sasaran dan tujuan yang diinginkan.

Apabila hanya memilih atau mengutamakan efektif, akan timbul kesan bahwa yang paling penting ialah mewujudkan hasil yang dikehendaki tanpa harus memperhitungkan atau mempertimbangkan daya dan dana serta sumber-sumber yang telah dikeluarkan, betapapun besar jumlahnya asal keinginan terpenuhi. Singkatnya efektif semata-mata mengejar hasil walaupun untuk mendapatkannya harus mengeluarkan daya dana yang besar jumlahnya. Sedangkan bila hanya mengutamakan pada ekonomis saja maka bisa membuat kesan hanya untuk mencari keuntungan semata tidak melihat bagaimana efektif dan efisiennya dalam memberikan  pelayanan lepada masyarakat.

Itulah sebabnya mengapa pada setiap usaha pencapaian sasaran atau tujuan di dalam memberikan pelayanan haruslah selalu diupayakan secara efektif, efisien, serta ekonomis. Artinya apabila ingin mendapatkan hasil yang dikehendaki secara penuh (efektif), dan pencapaian hasil tersebut dilakukan dengan jalan memanfaatkan segenap dana dan daya serta sumber-sumber lain yang sangat terbatas adanya (efisien) serta didukung dengan memperhatikan segi ekonomisnya. Adakalanya memang sulit untuk selalu berpegang teguh kepada prinsip efisien, efektif, dan ekonomis terutama pada pelaksanaan pencapaian tujuan yang bergerak. Contohnya pada bidang ketertiban, keamanan atau di bidang pendidikan. Karena dalam hal memulihkan ketertiban dan keamanan pada suatu wilayah yang dilanda kerusuhan dapat dipastikan akan banyak menelan dana dan sumber daya serta sumber-sumber lain dengan jumlah yang banyak.

Dalam suasana yang demikian jelas bahwa yang tampak paling menonjol adalah pencapaian hasil secara penuh dan memperjelas bahwa efektif lebih mendapatkan prioritas utama, dimana kerusuhan harus dihentikan guna memulihkan dan mengembalikan ketertiban dan keamanan. Tetapi bagi masyarakat pada umumnya sekalipun langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang demikian telah dilakukan mungkin bisa dikatakan  kurang efisien.

Pada bidang pendidikan misalnya, untuk memperoleh hasil suatu pelaksanaan program pendidikan tertentu banyak hal yang harus disiapkan atau disediakan baik yang bersifat material maupun yang bersifat non material. Hal ini dilakukan agar menjamin kelancaran jalannya penyelenggaraan program pendidikan yang dimaksud. Faktor yang bersifat material mencakup gedung, alat-alat beserta kelengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang pendidikan, biaya dan sebagainya sedang yang bersifat non material meliputi para pengajar, para pegawai tata usaha, penjaga sekolah dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk melaksanakan pendidikan sungguh tidak sedikit memerlukan daya dan dana, sarana dan prasarana yang harus dikeluarkan untuk mencapai hasil pendidikan itu.

Hasil dari suatu pelaksanaan program pendidikan yang telah dicapai (output) mungkin jauh tidak sepadan apabila dibandingkan dengan biaya (efisiensi), tenaga dan sumber-sumber lain yang telah dikeluarkan (input) dis-efektif, walaupun demikian pendidikan tetap harus dijalankan sebagai realisasi dari pada salah satu usaha pencapaian tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, betapapun mahal dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, pendidikan harus tetap dijalankan sepanjang masa.

Dengan adanya hal-hal tersebut diatas maka dapat terlihat betapa penting dan diperlukannya suatu kebijakan atau solusi yang didasarkan prinsip 3E (efektif, efisien, dan ekonomis) oleh pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan Publik yang lebih baik. Dalam hal pendidikan seperti yang dijelaskan diatas, salah satu penggunaan 3E dapat dilakukan dengan meminimalis pegawai artinya pegawai yang dipekerjakan tidak berlebihan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan tidak menggunakan dana yang ada untuk keperluan yang tidak penting. Penggunaan 3E dalam sektor pendidikan ini  akan dapat mengatasi hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan pendidikan baik yang bersifat material atau non material.

Referensi:

Hak Warga Negara Atas Pelayanan Publik. 2007. (Online).(http://www.suaramerdeka.com/harian/0304/12/kha2.htm, diakses 2 September 2009).

Siagian, Sondang, P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi danTerapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tresiana, Novita. 2004. Telaah PP No. 8/ 2003; Efektivitas-Efisiensi Organisasi Publik Versus Optimasi Pelayanan Publik. (Online).(http://b.domaindlx.com/himagaraunila/PP%20no%208.htm, diakses 2September 2009).

Posted in Administrasi Publik | Tagged: , , , , | Leave a Comment »

Kita ini Masyarakat Nekrofilia??

Posted by jutaajrullah on 7 July 2010

Erik Fromm adalah pemikir pertama yang secara gamblang menjelaskan paradigma masyarakat nekrofilia. Dalam bukunya The Heart of Man: Its Genius for Good and Evil (1965), ia membedakan antara pribadi nekrofilia dengan pribadi bermental biofilia. Pribadi bermental biofilia selalu berpihak pada kehidupan. Keberpihakan itu diperlihatkan dengan membiarkan ruang bagi eksistensi setiap pribadi. Ia menghargai seseorang secara utuh. Artinya, pribadi yang mengamini biofilia memperhatikan emosi, pikiran, kedirian, keunikan, serta segala kemampuan yang melekat di dalam yang lain. Ia selalu memberikan tempat bagi pertumbuhan seseorang sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, sikap yang diperlihatkan oleh orang seperti ini adalah sikap positif. Ia menjunjung tinggi hak-hak, terutama hak atas hidup.

Menurut Fromm, dasar moral perilaku insan yang berkarakter biofilia adalah etika humanistik. Etika ini berintikan, manusia itu berharga karena ia adalah manusia. Karena itu, sependapat dengan Immanuel Kant, bagi Fromm orang bermental biofilia memiliki kewajiban moral untuk menjaga kehidupan dirinya dan sesamanya, dan menjamin hak-hak asasi mereka. Ia melakukan ini karena sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia bermoral. Singkatnya, paradigma dari orang yang bermental biofilia bersumber dari pengakuan akan nilai eksistensial manusia.

Berlawanan dengan paradigma biofilia, orang yang menginternalisasi paradigma nekrofilia selalu berorientasi pada kematian. Bagi orang seperti ini kehidupan adalah kematian. Karena itu, tindakan orang-orang seperti ini selalu mengarah pada perusakan terhadap hidup orang lain. Ia tidak tahan melihat orang lain hidup dan berkembang. Kehidupan dan perkembangan orang-orang di sekitarnya justru merupakan gangguan baginya. Dengan demikian, dapat dikatakan juga, kaum nekrofilan tidak akan mau mengakui hak orang lain, termasuk hak hidup, melainkan berusaha untuk merampasnya. Jadi, orang bermental nekrofilia selalu memandang orang-orang di sekitarnya sebagai objek yang harus ditaklukan. Dalam paradigma seperti ini jelas tidak mungkin bagi pribadi seperti ini mengakui eksistensi yang lain, selain berusaha menghancurkannya dengan berbagai cara.

Oleh karena itu, sekali lagi meminjam terminologi Immanuel Kant, kaum nekrofilian selalu memutlakkan etika teleologis, yang intinya, membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Nilai tindakan bukan sesuatu yang penting. Yang penting adalah tercapainya tujuan yang diinginkan. Konsekuensinya, bagi orang bermental seperti itu cara buruk bukan masalah. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap berkembangnya masyarakat dengan paradigma nekrofilia. Suatu masyarakat yang berada di dunia yang serba terbalik, sebuah masyarakat bertopeng. Suatu masyarakat yang menganggap kesederhanaan sebagai keterbelakangan, kerakusan sebagai suatu kemajuan, kesalehan sebagai suatu kebodohan, dan kelicikan dianggap sebagai sebuah kemenangan. Semua ini pada gilirannya kemudian menghasilkan sebuah negeri yang pemimpinnya adalah penipu, tokoh agamanya pendosa dan pahlawannya adalah perampok.

Kondisi masyarakat nekrofilia sangat mirip dengan gambaran Thomas Hobbess yang mengibaratkan manusia adalah serigala bagi sesama, yang siap untuk menerkam lawan. Jika ada persahabatan, maka sifatnya sangat sementara, karena kalau situasi sudah memungkinkan maka ia akan menggertak dan memangsa yang lain. Naluri manusia yang tak pernah padam, yang mengedepankan paradigma nekrofilia adalah kehendak untuk berkuasa (Nitsche, 2003). Rasa puas muncul jika pihak lain telah menyerah. Kehidupan masyarakat menjadi hiruk pikuk dan penuh perkelahian, kerusuhan, pembunuhan dan fitnah. Itu semua hanya demi sebuah kekuasaan dan kemegahan yang ditempuh dengan menjungkalkan lawan.

Lahirnya manusia atau masyarakat nekrofilia ini, menurut Zauhar (2007), dipicu oleh kebiasaan manusia yang lebih mengedepankan pemenuhan wants daripada needs. Kebutuhan psikologis merupakan hasrat yang tak terbatas, karena ini dikondisikan oleh masyarakat dan dipupuk melalui sistem kebijakan dan periklanan. Atas dasar itulah amat wajar jika kebanyakan atau lebih tepatnya banyak oknum pejabat yang tidak memberitahukan penolakannya terhadap pembangunan Mall, pembangunan lapangan golf, walaupun kesemuanya itu menyengsarakan masyarakat luas.

Dalam masyarakat dan birokrasi kita masih ada kultur keseharian dan kultur politik-administrasinya bersifat nekrofilia. Kultur keseharian kebanyakan orang adalah kultur yang memuja kekerasan. Banyak orang senang terhibur dengan tayangan-tayangan televisi yang mempertontonkan kekerasan, tindakan kriminal yang sadis, pengungkapan gosip dan aib orang lain, serta kejelekan sebagai hiburan yang menyenangkan. Kebanyakan dari kita justru memberi perhatian lebih pada tayangan-tayangan televisi tetang tawuran antar pelajar, antar desa, antar mahasiswa, antar suporter bola dan sebagainya. Ini semua tentu menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kultur nekrofilia yang menghasilkan masyarakat nekrofilia.

Birokrasi dalam masyarakat nekrofilia dengan tanpa malu akan membela kepentingannya dan tidak pro rakyat, bahkan mereka menakut-nakuti rakyatnya sendiri. Birokrasi dalam masyarakat nekrofilia termasuk ke dalam horocarcy, yaitu suatu sistem birokrasi dimana di dalamnya terdapat situasi yang mencekam dalam arti sosial. Dalam hal ini, kreativitas menjadi terpasung, inovasi tidak berjalan dan bahkan partisipasi menjadi hilang ditelan bumi. Kultur birokrasi kita pun mengarah pada paradigma nekrofilia.

Kita masih bisa menyaksikan birokrasi kita sampai saat ini masih saja tidak responsif dan solutif dalam menangani korban Lapindo di Sidoarjo, yang mengganggu kelancaran transportasi, memburamkan masa depan generasi muda yang ada di sana, mengganggu kinerja perekonomian dan pendidikan yang ada di sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Birokrasi kita juga masih belum berpihak kepada rakyat, belum peduli terhadap harkat dan martabat manusia. Kita juga masih bisa menyaksikan saat ini betapa kekuatan mekanisme sosial menyumbat aspirasi alternatif, membelenggu kebebasan, menghambat perkembangan, mengerdilkan potensi yang ada dan melumpuhkan daya kreativitas. Dalam masyarakat nekrofilia, hukum dan kebijakan dibentuk untuk memeras rakyat demi kepentingan pejabat. Atas nama kepentingan umum, kalangan mayoritas menjadi bisa menindas kalangan minoritas dan sebaliknya, minoritas dapat membungkam mayoritas. Hukum tidak hanya dijadikan sebagai alat rekayasa sosial, akan tetapi juga sebagai alat rekayasa untuk melakukan korupsi. Hal ini akan menjadi lebih buruk lagi jika upaya korupsi dan memperkaya diri itu dilakukan oleh elite penguasa di tengah kemiskinan rakyat.

Diolah dari berbagai Sumber..

Posted in Administrasi Publik, Current Happen | Tagged: , , , , , | 1 Comment »

Pentingnya Analisis Lingkungan Internal Dalam Manajemen Strategi

Posted by jutaajrullah on 14 June 2010

Pihak-pihak yang pernah terlibat dalam perumusan suatu strategi pasti mengetahui dan mengakui bahwa melakukan suatu analisis internal sebagai bagian integral dari keseluruhan upaya menciptakan profil organisasi bukan tugas yang mudah. Upaya tersebut bahkan mengandung banyak tantangan yang harus dihadapi. Dikatakan demikian karena perumusan strategi selalu diwarnai oleh berbagai hal, antara lain:

  1. Penilaian yang bersifat subyektif
  2. Perhitungan-perhitungan yang tidak selalu dapat dikualifikasikan
  3. Kenyataan bahwa kegiatan organisasi selalu bergerak dalam kondisi dinamis yang pada dirinya mengandung ketidakpastian (uncertainity)
  4. Adanya faktor-faktor yang berada di luar kemampuan organisasi untuk mengendalikannya, meskipun para perumus strategi selalu saja dapat memanfaatkan analisis yang obyektif, rasional dan sudah baku.

Para pakar menekankan bahwa salah satu instrumen analisis yang dapat digunakan adalah analisis SWOT yang dengannya dapat diketahui secara jelas dan pasti faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan organisasi yang dapat mencakup saluran distribusi yang handal, posisi kas organisasi, lokasi yang menguntungkan, keunggulan dalam menerapkan teknologi yang canggih tetapi sekaligus tepat guna dan struktur atau tipe organisasi yang digunakan. Akan tetapi, tidak kalah pentingnya untuk diketahui secara tepat adalah berbagai kelemahan yang mungkin terdapat dalam diri organisasi tersebut.

Read the rest of this entry »

Posted in Administrasi Publik | Tagged: , , , , | 2 Comments »

Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance

Posted by jutaajrullah on 7 June 2010

Konsep Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.

Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.

Read the rest of this entry »

Posted in Administrasi Publik | Tagged: , , , | Leave a Comment »